Thursday, June 14, 2007

DILARANG DUDUK DI AREA INI (PART I)


“Dilarang duduk di area ini”. Tulisan di papan berukuran 1x1 meter itu tergantung di besi palang sebuah pagar beton milik sebuah bank asing di kawasan Kebun sirih. Kemungkinan besar papan itu dipasang karena dulu banyak orang yang memanfaatkan pagar itu sebagai tempat duduk sembari menunggu bis datang. Memang tempat itu sering dijadikan tempat orang-orang menunggu bis.

Saking tak relanya pemilik gedung ini kalau temboknya diduduki, mereka meletakkan pot-pot tanaman di atasnya. Saya ingat, pot-pot itu dulu tidak ada. Hmmm kadang tersenyum juga, memikirkan betapa pintarnya pengelola gedung mengusir dengan halus orang-orang untuk tidak duduk di pagar beton itu.

Di sudut bangunan itu terletak sebuah bangku kecil sepanjang 1 meter yang cukup diduduki 3 orang berdesakan dan kalau mau nyaman ya hanya dua orang. Di sebelah bangku tersebut juga diletakkan tumpukan balok-balok semen yang entah asalnya dari mana. Bangku dan tumpukan semen itu begitu menggoda orang yang berdiri menunggu bus, yang tentu saja sudah capek akibat bekerja seharian . Bangku itu milik seorang penjual minum dan tumpukan semen itu milik tukang nasi goreng yang sering mangkal di tempat itu.

Saya selalu menunggu jemputan di tempat itu. Dulu saya biasa duduk di pagar beton yang sekarang diatasnya sudah berjejer pot-pot bunga dan papan larangan itu. Setelah pot-pot bunga itu nangkring di situ, saya terpaksa ikut berdiri di pinggir jalan. Atau kadang jika kaki sudah terlampau pegel, karena di dalam busway tak dapat tempat duduk, saya duduk di ujung pagar depan. Yah sekedar numpang meletakkan setengah pantat, gak penuh lo... dan menurut saya itu bukan kategori duduk, tapi cuma nyender.

Di area itu, seperti yang saya ceritakan tadi ada tukang penjual minuman dan tukang nasi goreng. Pertama saya membeli teh botol di tukang minuman itu, saya kaget dengan cara bicara tukang minuman itu yang kesannya membentak-bentak. Belum lagi matanya yang melotot, memandang kesana kemari. Sama sekali bukan tipe penjual yang ramah. Selanjutnya, saya lebih sering menahan haus, meski sebenarnya sangat ingin membeli minuman di situ. Suatu waktu ketika saya menunggu jemputan agak lama, dan mempunyai kesempatan untuk lebih mengamati sekeliling. Beberapa kali saya perhatikan para pembeli yang kelihatannya sudah langganan di situ, ga pernah ngomong untuk berkomunikasi, tapi Cuma menunjuk atau memakai bahasa isyarat. Setelah saya perhatikan ternyata penjual minuman itu bisu tuli. Tapi hari itu Saya belum yakin seratus persen. keesokan harinya saya lebih perhatikan lagi dan coba membeli minuman di situ. Ternyata benar! Wah Saya kaget dan merasa bersalah, karena sudah menyangka yang bukan-bukan..ternyata nada2 bentakan itu adalah satu-satunya suara yang bisa keluar dari pita suaranya. Dan itulah cara dia berkomunikasi dengan para pembelinya…fiuuuh, jadi dapat pelajaran baru untuk tidak sembarangan menilai orang.

Kadang-kadang memang saya terlalu cepat menilai orang. Mungkin terbentuk dari sikap defensive saya dengan cerita-cerita seram tentang manusia Jakarta yang menghalalkan segala cara untuk meraih impian-impian mereka. cerita-cerita tentang banyaknya penipu, pencopet atau orang-orang jahat di Jakarta. Mungkin cerita-cerita itu masih terpatri di ingatan saya, sehingga saya memilih untuk lebih berhati-hati dengan orang yang tidak dikenal.

Lantas apa hubungan papan larangan, bangku sepanjang satu meter dan tumpukan balok semen milik tukang minuman dan tukang nasi goreng, serta tukang minuman itu sendiri? Selain ketiganya berada di area yang sama, ternyata ada satu realita yang membuat saya kembali tercengang.

To be continued..

No comments: