Tuesday, April 27, 2010

Belajar dari Seorang Garin

"Kita hidup di dunia hiburan tanpa etika" kata Garin Nugroho tadi siang di workshop media tv yang saya ikuti. Seseorang yang mengikuti kuis di tv, meski ia menjawab pertanyaan kuis dengan salah, tetap mendapat hadiah 2 juta rupiah. "ini membuat seorang yang bekerja seharian dan hanya mendapat uang 10.000 rupiah menjadi frustasi" tambah mas Garin. Diselingi guyonan yang sanggup membuat perut sakit karena tertawa dan dengan logat jawa yang kental, mas Garin meneruskan sharingnya tentang kondisi masyarakat saat ini.

Nilai-nilai media kita memang sudah terbolak-balik. Menurut cerita mas Garin, ada juga televisi yang menganut 'faham' opera sabun, dalam menyampaikan berita2nya. Sebuah peristiwa terus disiarkan tanpa ending, dan tanpa ada pesan yang hendak disampaikan.

G : "Di luar negeri, Televisi atau media tidak bisa menampilkan seorang narsum, yang belum teruji kapabilitasnya dan kredibilitasnya. Namun di sini, Sumanto (sang kanibal) bisa menjadi tamu di sebuah talkshow, dengan pertanyaan2 yang ga jelas pesannya".
Yang ini memang saya pernah lihat sendiri, Sumanto ditanyai oleh host sebuah program, bagaimana sih rasanya makan daging manusia? dan Sumanto pun hanya memasang muka aneh plus nyengir sebagai jawabannya.


G : "Debat Presiden di AS, Anda tahu siapa moderatornya?. moderator bukanlah orang yang harus mengungkapkan pendapatnya, tapi Ia harus bisa mengorek pendapat narasumber, ataupun membuat para narasumber bisa mengungkapkan pesannya dengan singkat,jelas, dan dapat diterima oleh masyarakat ".
Saya lantas mencoba membandingkan debat2 di televisi yang seringkali mengejar pernyataan narasumber, namun tidak fokus apa yang ditanyakan. Yang akhirnya malah semakin menimbulkan ketidakjelasan bagi pemirsa.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat konsumen. Tekno lenong, demikian mas Garin menyebut kondisi masyarakat Indonesia. Banyak orang yang memakai teknologi, bahkan teknologi tertinggi tapi tak tahu bagaimana menggunakan teknologi tsb untuk memberi manfaat bagi dirinya. Jadi mereka hanya sekedar mengadaptasi teknologi untuk 'gaya2an'.
Hehehehe... lihat fenomena FB. Indonesia sempat menjadi negara kelima sebagai pengguna FB paling aktif. Tapi alih2 digunakan untuk yang bermanfaat, FB malah digunakan untuk 'mengumbar privacy".

Masyarakat Indonesia, baru dalam tahap budaya lisan, belum ada budaya tulis yang kuat. Ini pun tercermin dalam karakter televisi di Indonesia, yang baru menvisualkan tradisi lisan. Masyarakat baru berpikir dalam tataran ideal, namun belum mampu menjabarkan konsep2 tersebut dalam perilaku mereka sehari-hari . Setiap orang tua tahu bahwa banyak tayangan televisi yang kurang baik bagi anaknya. Tapi belum banyak orangtua yang mematikan televisinya ketika si anak nonton berita kekerasan, atau sinetron yang hanya menjual mimpi. Setiap orang tahu bahwa bumi kita terancam bahaya plastik, tapi berapa banyak orang/ atau bahkan perusahaan2 besar yang mengobral palstik, ataupun berperilaku ramah lingkungan.

Untuk menjawab tantangan zaman, kita harus peka dengan sekeliling. Mempunyai "sense of" crisis yang tinggi' bisa menjadi sebuah solusi. Apapun yang kita lakukan, apakan yang kita kerjakan, apalagi kalau kita berkutat dengan media, maka kembangkanlah sense of crisis terhadap kemanusiaan.

Mulai saat ini, saya yang kebetulan bekerja di televisi, akan berkomitmen untuk lebih mengembangkan 'sense of Crisis' dan mengembangkan kepekaan terhadap sekitar kita. Lihat sekitar kita dengan MATAHATI-laah (Tagline program DAAI MATAHATI, 18.30 - 19.00 WIB hanya di DAAI TV chanel 59 UHF -- )

Monday, April 26, 2010

Belajar dari Seorang Marco

Sehari bersama Marco Kusumawijaya ibarat membaca ensiklopedia. Pak Marco demikian saya memanggil ahli tatakota ini (meski dia sebenarnya juga belum terlalu tua). Kami menjelajah wilayah Menteng, Kemang dan sepanjang perjalanan Ia begitu antusias menceritakan tentang keindahan ataupun kebobrokan Jakarta. Pak Marco demikian hapal sudut-sudut jakarta. Sembari bercerita tentang keindahan kota-kota yang pernah disambanginya, Ia membandingkan dengan kondisi Jakarta.

"kota yang nyaman bisa dilihat dari seberapa nyaman orang-orang bisa berjalan kota tersebut". Wah bener juga ya. Saya pernah mengunjungi Taiwan, dan memang di sana orang bisa berjalan dengan nyaman. Jalanan juga tampak lega. Transport sangat mudah. Dibandingkan dengan Jakarta, fiuuuh... macet, mo naik transport umum juga bejubel, ngantri...

Di kawasan Kemang :
" Lihat gedung bertingkat ini. Dia tidak memperhatikan daya tampung jalan di depannya. Padahal secara logika gampang saja memperkirakan berapa mobil yang akan keluar masuk/ atau berapa penghuni gedung tsb yang akan keluar masuk dari jalan ini, padahal sebelum dibangun gedung inipun, jalan di depannya sudah macet"
Benar juga yahh.. kenapa orang bikin gedung ga bisa mikir seperti itu ya? atau kenapa Pemerintah tak punya kesadaran untuk mengatur pembangunan gedung yang disesuaikan dengan kapasitas jalanan ya...??

"Bagaimana bisa kota bisa nyaman, jika Rancangan Peraturan Daerah yang dipersiapkan untuk tatakota 20 tahun mendatang, tidak dianggap serius?"
waduuh! Ini lagi, kok pemerintah ga profesional banget yaa..????

" Ya, untuk itu diperlukan partisipasi warga untuk mengontrol dan memberikan masukan, agar Pemerintah tidak berjalan sendiri"
Hmm.... bener juga sih.. tapi Pemerintah mau ga ya denger omongan warga? Tapi kalau kita diam aja, juga ga akan merubah apapun. Setidaknya kita sebagai warga mencoba untuk memberi masukan, syukur2 Pemerintah mau menampung dan memberikan ruang buat warga.

Menurut catatan sejarah, Revolusi atau perubahan selalu muncul dari kelas menengah. Karena kelas menengah setidaknya punya cukup fasilitas ataupun intelektual untuk melakukan perubahan.

Yaa.. hari itu saya dan teman-teman banyak menerima pelajaran dari seorang Marco. Saya berharap semua warga Jakarta juga punya kesadaran untuk berubah. Berubah untuk membuat negeri ini semakin memihak pada kesejahteraan rakyat, dan bukannya segelintir orang berkuasa yang ingin memperkaya diri.

Belajar dari Seorang Daniel

Suatu siang di kantor, resepsionis mengabarkan bahwa ada tamu yang ingin bertemu dengan saya. Saya pun beranjak dari kursi dan bermaksud menemui sang tamu. Dua orang ibu-ibu dan seorang anak laki, yang kemudian dikenalkan bernama Daniel Cuandy.

Daniel seorang anak autis. Namun dibalik kelainan yang dideritanya Ia adalah sosok yang tegar dan penuh semangat. Dua orang ibu yang datang dengannya adalah tante dan mama Daniel. Sang Tante bercerita tentang hidup Daniel serta keistimewaan Daniel yang bisa mengingat deretan angka di kalender serta piawai bermain piano. "Tante punya anak?" tanya Daniel padaku.. "anaknya Tante lahir tanggal berapa?" Saya pun menyebut tanggal serta tahun kelahiran anak saya, dengan cepat pula Daniel menjawab, "anaknya Tante lahir hari minggu".. Wah ajaib, Daniel bisa menebak hari lahir anak saya dengan tepat! Daniel pun bertanya hari lahir saya dan suami saya, dan Ia menjawab dengan tepat hari lahir kami.

Ingin mengenal lebih jauh, saya pun mengajukan pertanyaan pada Daniel. "Daniel punya kawan berapa di sekolah?" (kebetulan Daniel bersekolah di sekolah umum/biasa dan bukan Sekolah Luar Biasa). Daniel punya temen lima orang, tapi yang baik hanya satu. Yang lain ga mau temenan sama Daniel. Daniel suka diolok-olok mereka". Deg! Entah mengapa hati saya terasa sedih. Tantenya pun lantas bercerita, kalau teman2nya dulu memang suka keterlaluan mengolok-olok Daniel (saya ga tega untuk menceritakan apa yang mereka perbuat pada Daniel, yang jelas menurut saya itu sangat tidak sopan dan tidak manusiawi, dan semakin membuat saya sedih) . Mata saya jadi berkaca-kaca mendengar penuturan Tante Daniel.

Saya bertanya pada mama Daniel, apakah dulu waktu Daniel lahir ada penolakan dari kedua orangtuanya? sang Mama bilang, bahwa Papanya pernah merasa seperti itu. Daniel pun bercerita bahwa saking kesalnya Papa pernah pukul Daniel. Daniel pun sempat berkali-kali dileskan oleh mamanya, namun tak berhasil. Sampai akhirnya Daniel les piano, pada seorang guru yang juga sangat care dengan orang-orang seperti Daniel. Kemampuan Daniel bermain piano pun maju sangat pesat. Ia pun berhasil membuat bangga Mama, Papa dan tantenya yang juga selalu mendampinginya.

Daniel pun kini sering tampil unjuk kebolehan. Sang Mama dan Tante ingin agar cerita Daniel ini bisa memberikan inspirasi buat anak-anak lain yang juga menderita kelainan yang sama. Ya, bahwa dibalik semua kekurangan tersembunyi kelebihan. Daniel adalah bukti bahwa kasih sayang serta kesabaran keluarga untuk selalu mendampingi anak-anak mereka, apapun kondisinya, bisa membuat anak-anak berkelainan menjadi anak yang ISTIMEWA.